SI RAMBUT MERAH YANG BAHAGIA



Suatu hari, hiduplah seorang anak perempuan berambut panjang dan hitam. Anak perempuan itu sangat menyukai bunga dandelion di padang rumput depan rumahnya. Setiap pagi, dia selalu bermain di padang sambil memetik bunga dandelion. Kemudian, jika angin cukup kencang, sang anak perempuan akan menaruh bunga itu di udara. Bunga dandelion yang berwarna putih itu pun terbang dibawa angin ke tempat yang jauh dimana anak perempuan itu bahkan tidak tahu. 

Sambil bernyanyi, anak perempuan datang lagi keesokan harinya ke padang. Ada seekor lebah hinggap di atas bunga dandelion. Dengan mendekat, anak perempuan berkata pada lebah tadi. 

“Lebah, bolehkah kamu berpindah ke bunga lain? Aku ingin memetik bunga ini,” 

Lebah tersenyum, dia mengangguk kemudian menjawab pertanyaan anak perempuan. 

“Karena kamu cantik dan ramah, maka aku akan berpindah ke bunga lain. Oh ya, kamu sama cantiknya seperti bunga ini,” setelahnya lebah berlalu pergi. 

Anak perempuan ikut tersenyum, rambut hitamnya yang panjang tertiup angin dan membuatnya terlihat lebih cantik. Dari arah belakang, seekor kelinci abu-abu menghampiri. Dia menanyakan alasan kenapa anak perempuan itu sering datang ke padang rumput. 

“Aku sangat suka bunga ini, kecil seperti diriku, tapi justru tetap cantik meski tidak terlalu dikenal seperti bunga mawar.” Jawab sang anak perempuan. 

 

“Tapi, menurutku bunga dandelion sangat rapuh. Lihatlah, hanya tertiup angin saja sudah tumbang,” kelinci abu-abu berpendapat. 

 

“Bukan tumbang kelinci, bunga dandelion justru tetap sempurna meski ditiup angin. Struktur bunganya tidak pernah rusak,” jelas anak perempuan. 

 

Seperti itulah kegiatan setiap hari yang dilakukan anak perempuan. Pagi hari hingga siang, dia akan berada di padang untuk memetik bunga yang akan dibawa pulang ke rumah. Jika ada waktu sisa, dia akan mengelilingi padang atau bahkan kadang merebah di rumput sambil menatap langit biru yang cerah. 

Suatu ketika saat hendak memetik bunga, ada seekor lebah yang pernah dijumpai anak perempuan hinggap di atas dandelion. 

“Lebah, aku ingin memetik bunga ini. Bisakah kamu pergi ke tempat lain?” 

Jawaban dari lebah membuat sang anak perempuan terkejut. Lebah tidak mengenali anak perempuan. 

“Siapa kamu? Aku tidak mengenalmu, kamu sangat aneh!” seru lebah. 

 

“Lebah, bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa aku cantik dan ramah?"

 

“Kamu anak perempuan yang cantik seperti bunga ini?” 

 

“Iya, kamu pernah bilang bahwa aku cantik seperti bunga dandelion ini,” tunjuk anak perempuan. 

 

“Tapi, kenapa kamu berubah? Rambutmu kini berwarna merah seperti api, kulitmu juga terlihat lebih gelap, aku bahkan tidak mengenalimu,” 

 

Betapa sedihnya hati anak perempuan. Dia tidak lagi seperti dulu, rambut serta kulitnya berubah. Dia menangis keras sekali, sampai-sampai kelinci padang rumput datang kepadanya. 


“Kenapa kamu menangis?” 

 

“Rambutku kini berubah menjadi merah seperti api, aku menjadi jelek sekarang,” tangis anak perempuan semakin pecah. 

 

“Kamu tetap cantik bagiku, kamu masih seperti yang dulu bukan? Anak perempuan yang sangat menyukai bunga dandelion?”

 

“Tapi sekarang aku tidak cantik lagi!” 

 

Sang anak perempuan pergi meninggalkan lebah dan kelinci. Dia, masuk ke dalam rumahnya. Anak perempuan tidak percaya, bahwa dia mengalami perubahan fisik yang cukup drastis. Dia menangis sepanjang malam, hingga suaranya hampir hilang. 

Saat pagi hari datang, anak perempuan terbangun. Dia ingat bahwa dia harus pergi ke padang untuk memetik bunga. Bergegas, dia mengambil keranjang yang telah disiapkan untuk diisi dengan bunga dandelion nanti. 

Sampai di padang, anak perempuan masih memetik bunga seperti biasanya. Sesekali, ia bersenandung kecil. Tiba-tiba peristiwa kemarin teringat di kepalanya. Anak perempuan menangis lagi. Dia masih belum percaya bahwa rambutnya berubah menjadi merah. 

“Aku rindu rambut hitamku, kemana perginya dia?”  sambil memetik bunga, anak perempuan masih saja menangis. Saat di perjalanan pulang menuju rumah pun, tangisnya belum juga berhenti. 

 

“Aku rindu rambut hitamku, kemana dia?” lagi-lagi anak perempuan bertanya pada dirinya sendiri. Namun setelahnya, dia menangis karena teringat rambut hitamnya lagi. 

 

Begitulah setiap hari anak perempuan meratapi nasibnya. Setelah memetik bunga, dia akan menangis kembali.  Bertambah hari, rambutnya kian memerah. Anak perempuan menjadi ketakutan terhadap dirinya sendiri. Dia ingin berhenti mengambil bunga saat pagi hari, tapi mau bagimana lagi? Sang anak perempuan sudah terlanjur sangat menyukai bunga dandelion. Dia tetap harus pergi ke padang rumput. 

Seperti biasanya, sang anak perempuan pergi ke padang lagi. Dia sangat bersemangat karena sebentar lagi akan memetik bunga. Satu demi satu tangkai bunga memenuhi keranjang rotan miliknya. Dia tadi sudah menerbangkan bunga dandelion sebanyak tiga tangkai. Perasaan kehilangan itu kembali muncul saat dia teringat rambut hitamnya. 

“Kenapa rambut hitamku pergi? Apa dia membenciku?” tangis sang anak perempuan. 

 

Kali ini tangis anak perempuan lebih lama dari biasanya. Sampai-sampai, burung yang berkicau di pepohonan ikut terdiam menyaksikan tangis anak perempuan. Di kejauhan, samar-samar terdengar suara tawa yang terbahak-bahak. 

“Hahahhahahaha….” 

Tangis anak perempuan berhenti. Dia mencari sumber suara.

“Hahahhahaha….” suara itu terdengar lebih keras. 


Ternyata, suara itu berasal dari seekor rubah. Kini, rubah itu ada di depan anak perempuan. 

“Kenapa kamu tertawa rubah?” 

 

“Aku adalah rubah yang bahagia. Aku selalu bahagia ketika melihat warna merah. Karena rambutmu berwarna merah, maka aku bahagia melihatmu.” 

 

“Kamu bahagia? Bukankah rambutku jelek? Aku saja selalu menangis karena rambut merahku.”

 

“Tidak, rambutmu bagus. Merah adalah warna yang indah. Seperti warna matahari ketika terbenam di sore hari. Hahahhaha….” 

 

“Benar, kalau tidak percaya tunggu saja sampai matahari terbenam. Kamu akan melihat sendiri bagaimana sangat indahnya warna merah itu. Aku bahkan dibuat bahagia karena warna merah. Hahahahaha….” 

 

“Baiklah, akan ku tunggu hingga sore. Tapi rubah, bagaimana bisa kamu datang kemari?” 

 


 

“Aku datang kesini karena mengikuti bunga dandelion yang setiap hari jatuh di depan rumahku. Aku penasaran, dari mana asalnya. Ternyata dari padang rumput yang luas ini.”

 

“Sungguh? Bunga itu, aku yang meniupnya, lalu terbang dibawa angin.” 

 

Anak perempuan dan rubah akhirnya berteman. Mereka bercakap-cakap sambil menunggu matahari yang sebentar lagi akan terbenam. Semburat warna merah mulai terlihat sedikit demi sedikit di langit. Anak perempuan membelalakkan matanya, dia takjub akan keindahan warna merah yang dihasilkan saat matahari tenggelam.

“Sangat indah, seperti warna rambutku.” Gumam anak perempuan.

 

“Sudah percaya kan sekarang? Hahahaha….” 

 

Anak perempuan mengangguk, kini dia tidak lagi bersedih karena rambutnya yang berwarna merah. 



0 komentar