PEREMPUAN


Sembilan belas tahun hidup sebagai perempuan, dikelilingi lingkungan yang sudah terstruktur sedemikian rupa hingga budaya patriarki masih saja melekat bahkan ke keluarga terdekat gue sendiri tidaklah mudah. Bisa dibilang, gue hampir putus asa.

Gue nggak tau tulisan ini akan jadi sebuah perspektif atau malah cuma sekadar curhatan dan unek-unek yang gue rasakan sebagai seorang perempuan. Sebelumnya di postingan kali ini dengan segala rasa hormat yang setinggi-tingginya nggak ada maksud dari gue untuk menyudutkan salah satu pihak manapun. Tulisan ini murni gue bikin berdasarkan apa yang gue rasakan.

So, mungkin kawan-kawan di sini udah pada tau kalau orang yang ada di balik blog ini adalah perempuan berusia sembilan belas tahun yang baru lulus SMA kemarin. Kawan-kawan sedikit banyak yang tahu kalau gue saat ini sedang gap year. Entah tahun ini gue akan mengakhiri masa gap year gue, atau nambah lagi entah sampai kapan, I still don't know.

Lumrahnya, anak-anak seusia gue pasti sedang ada di fase-fasenya berbeda pendapat ketika menentukan masa depan bareng orang tua. Perdebatan-perdebatan yang gue alami bersama orang tua gue, khususnya nyokap seringkali terjadi tanpa bisa gue tahan. 

Sekali lagi, tanpa bermaksud merendahkan orang tua gue sendiri, gue cuma mau bilang. I'm so tired, so much. Bagi kawan-kawan yang mungkin udah pada tau juga, gue sendiri adalah produksi dari broken home. Yap! Tanpa malu mengakui, kedua orang tua gue sudah berpisah sejak beberapa tahun yang lalu. Sejak itu, gue selalu ingin membuktikan ke orang-orang bahwa gue emang broken home, tapi enggak untuk broken life.

Tanpa bermaksud menyombongkan diri, selama sekolah gue selalu duduk di jajaran peringkat yang CUKUP BAIK, sejak SD sampai SMA. Gue banyak ikut organisasi, sering jadi wakil sekolah untuk ikut lomba dan pulang nggondol piala. Semua orang berpikir bahwa gue punya kehidupan yang cukup sempurna. Mereka nggak pernah tahu aja, gue bahkan pernah hampir bunuh diri!

Berangkat dengan segala potensi yang gue miliki, sebagai seorang yang selalu ingin mengupgrade diri sendiri, gue ingin mencoba banyak hal baru di hidup gue. Gue ingin menembus limit gue. Banyak orang berpikir bahwa "Ngapain susah-susah keluar dari zona nyaman? Bikin ribet!" Parahnya, beberapa orang di lingkungan gue teran-terangan bilang kalau "Kamu perempuan, ngapain banyak maunya?"  Haha.

As perempuan, gue jadi mempertanyakan. "Emang kalau perempuan, terus pengin hidupnya maju, memilih jalan hidupnya, mengejar mimpinya, menjadi dirinya sendiri, nggak boleh?"  Cukup untuk selama ini mereka yang punya banyak mimpi harus mengubur dalam-dalam hanya karena mereka perempuan.

 Kamu perempuan, nggak usah pergi jauh-jauh!  

 

Kamu perempuan, ujungnya juga bakal di dapur. Nggak usah sekolah tinggi-tinggi!

 

 Perempuan juga nanti akhirnya kudu nurut sama suami!

 

 Nggak usah kuliah di luar kota, bahaya! Perempuan!

 

Yakin mau jalan-jalan sendiri? Ntar banyak yang godain!

 

Perempuan harus sopan ya bicaranya... Jangan judes

 

Perempuan harus lemah lembut, biar banyak cowok yang suka

 

Pakaiannya aja terbuka kaya gitu, pasti perempuan nggak bener

 

Harus bisa masak, bisa nyuci, bisa beberes, kamu Perempuan!

 

Dan segala lautan busa pelabelan yang diberikan kepada perempuan. Pada akhirnya perempuan mau nggak mau ternaturalisasi sama pattern-pattern yang sadar atau enggak malah mengkerdilkan diri mereka sendiri. Pada akhirnya perempuan secara tidak langsung turut mengamini seakan kodrat perempuan ya memang begitu. Makhluk inferior. 

Nglihat perempuan yang punya jabatan lebih tinggi dari suaminya digunjing sana-sini. Seolah dengan si perempuan yang kariernya lebih sukses, bisa mencederai pride laki-laki. Perempuan yang punya pendidikan tinggi acapkali dapet ujaran "Awas, ntar banyak laki-laki nggak mau deket." Perempuan yang tadinya kepengin jalan-jalan maybe ke luar kota atau bahkan ke luar negeri jadi harus mikir dua kali "Duuh, aman nggak ya?" Hal yang paling sepele yang pernah gue denger dari nyokap adalah "Bangun mbak! Perempuan kok bangunnya siang!"

Rasanya, dunia adalah tempat yang nggak ramah untuk perempuan. Rasanya, nggak adil kalau cuma laki-laki aja yang boleh bepergian jauh hanya karena dianggap bahwa laki-laki bisa lebih jaga diri ketimbang perempuan. Nggak balance aja ngliat laki-laki yang di agung-agungkan karena dapet gelar mentereng meski mereka pun melakukannya karena sebuah tuntutan untuk menghidupi keluarga. 

Kalau dunia ini adalah tempat yang nggak aman bagi perempuan, kenapa nggak bareng-bareng dan bahu membahu untuk menciptakan dunia yang lebih aman dan hangat bagi perempuan? Bahaya nggak cuma mengintai kaum hawa, kaum adam juga bisa kok kena bahaya. Kalau ngliat laki-laki jago dalam urusan rumah tangga terus kita terpukau, kenapa kita nggak mengapresiasi kerja para perempuan? Apa  karena udah terlalu biasa aja gitu kelihatannya? Kalau perempuan disuruh untuk rapat-rapat menjaga pakainnya, kenapa laki-laki enggak? Atau guenya aja yang belum tau?



Kalau ditanya, apakah gue benci laki-laki. Hm! 😒 Gue nggak suka laki-laki yang overproud about his masculinity. Semoga kelak gue nggak dapet pasangan yang kaya gitu. 😂

Gue yakin di luar sana udah banyak yang mulai aware sama case beginian. Cuma ya itu, karena menurut gue masalah ini sistemik jadi nggak cukup hanya cabut di permukaannya aja. Mungkin ini lebih ke long term proses. Nggak bisa kalau ngandelin SIMSALABIM ABRAKADABRA!

14 komentar

  1. Nice writing, Syifa!

    Seperti yang Syifa bilang di akhir penulisan, bahwa hal seperti ini nggak hanya bisa dicabut dari permukaannya aja, harus dari akar-akarnya. Masalahnya, akarnya udah mengakar secara turun temurun dari nenek moyang kita, itu yang membuatnya semakin sulit diubah 😥.

    That's why karena sulit mengubah manusia lainnya, dimulai dari kita sendiri yuk untuk mengadakan perubahan ini 😁. Syifa pasti bisa menjadi perempuan yang kuat dan mandiri 😁💪🏻.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe, memang sulit, seenggaknya kalau mereka nggak bisa dari diri aku sendiri dulu yang mulai.

      Makasih Kak Lia ❤️

      Delete
  2. Kalau ada di kultur lain nggak gitu banget, sih. Warisan kultur saja ini. Turun temurun dan akhirnya jadi semacam wiring. Bisa jadi lho ibunya Syifa dulu juga seperti dirimu, tapi karena wiring (mencontoh tanpa sadar kiri-kanan dan generasi sebelumnya), ucapan yang keluar jadi seperti itu.

    Selama ini kita mempersepsikan diri perempuan sebagai korban. Well, don't. Kita itu berdaya. Bahkan pada korban KDRT, abusif, dsb. Penyintas itu selalu diyakinkan bagaimana mereka itu berdaya, suatu cara agar bisa melalui semua penderitaan. Dengan cara itu akhirnya berhasil keluar dari lingkaran setan.

    Cara mengubah kultur dan generasi sebetulnya bisa dari perempuan sendiri. Cuma banyak yg enggak nyadar power itu. For example, sebagai seorang ibu bisa mengubah pola pikir anak-anaknya bahwa kalian itu sama-sama berdaya, cuma beda casing. Sayangnya, di Barat jumlah anak menyusut karena banyak yg memilih childless, rata-rata orang dengan pemikiran cemerlang. Akhirnya yang banyak punya anak adalah para imigran. Dan kita tahu sendiri kebanyakan kultur yang dibawa imigran masih ada yang sangat patriarki. So, lingkaran itu terulang kembali.Karena yg berpikiran maju dan cemerlang tidak punya "pewaris".

    Laki-laki juga harus menjaga pandangan. Cuma entah kenapa yang digede-gedein cuma buat perempuan saja. Perempuannya sopan semua tapi dianya masih browsing situs porno ya percuma saja..tetap otaknya rusak hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hm, mungkin ada benernya juga kata Kak Phebie. Lama kelamaan kalo tiap hari ubek-ubekannya disitu ya lambat laun bakal kepengaruh juga. Mencontoh kiri dan kanan tanpa sadar.

      Pertama menurutku sih perempuan juga harus sadar kalau perempuan itu berdaya, as you said kak.
      Kedua, laki-laki juga harus paham juga dan saling mengerti.

      Kalau untuk masalah nonton porno gitu, emang beneran harus ada keniatan dari individu masing-masing supaya ngjauh.

      Delete
  3. Wah Syifa aku tercengang bacanya, apakah tulisan ini salah satu endapan emosi yang sudah lama terpendam?

    Aku setuju dengan komentar kak Phebie diatas soal warisan kultur. Sepengamatanku, emang semestinya baik perempuan dan laki-laki itu memahami perannya masing2. Gak bisa salah satu nya aja yang superior yang ada nanti malah tumpang tindih. Anyway apapun keadaannya sekarang, betul kata Syifa, bahwa masalah itu butuh long term process, dimulai dari kesadaran diri sendiri, nah ini yang menurutku susah, tapi gimanapun susahnya, Syifa yang masih muda inii harus kuat!! Perjalanan masih panjang. 👍🏻💪

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahah iya Kak Reka, unek-unek aja ini akhirnya. 😂

      Bener banget kak Reka, dua-duanya kudu bisa kooperatif. Gak bisa salah satu doang. Masalahnya itu tadi, susahnya kek nyari jarum di tumpukan jerami.

      But, terimakasih dukungannya Kak Reka ❤️

      Delete
  4. Saya menemukan diri Aina ditulisan kamu Syifa. Energik dan gamblang. Ohya, Aina adalah seorang blogger perempuan favorit saya. Sekarang lagi cuti. Makanya saya senang sekali pas nemu blog kamu disalah satu kolom komentar teman blogger.

    Hal ini juga kayaknya pernah dibahas Aina. Kalau dari sudut pandang saya, masalah patriarki itu adalah bagian kebudayaan. Sejatinya kebudayaan, sulit untuk diubah kalau tidak mau disebut mustahil. Salah satu solusinya, adalah dimulai dari Syifa sendiri, yang saya harap, seperti komentar kak Phebie, Syifa tidak akan mengikuti atau mengambil jalan yang sama.

    Saya sendiri masih mengamini bahwa patriarki adalah hal yang sangat dekat dengan saya, baik secara sadar maupun tidak. Saya mencoba untuk menjunjung tinggi harkat perempuan dengan tidak memandangnya sebagai perempuan. Meski pada akhirnya saya rasa patriarki juga awet karena perempuan itu sendiri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sayangnya aku belum sempet main lama-lama di blog Kak Aina. Keburu Kak Aina hiatus. Semoga mah nggak lama-lama Kak Aina hiatusnya. Kak Aina juga perna bilang katanya Kak Aina kaya ngliat versi dirinya sendiri tapi di usia yang lebih muda. Hahaha 😂

      Iya Kak Rahul, aku mencoba untuk nggak mengikuti jejak yang sama. Meskipun, it's really hard. I have to try!!

      Makasih Kak Rahul sudah mau menghormati perempuan. 😊

      Delete
  5. ah suka sekali sama tulisanya, mewakilkan perasaanku banget. aku juga sering dapat komen-komenan serupa tentang perempuan harus gini harus gitu, yang paling parah aku pernah diginiin "jadi perempuan harus bisa melayani, kalo enggak nanti suamimu kabur" dan kalimat itu diucapkan oleh seorang perempuan!
    semoga pada sadarlah ya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Miris tapi itulah yang terjadi kenyataannya kak. Kadang, sesama perempuan juga bisa saling merendahkan.

      Semoga dari diri kita selalu sadar untuk terus belajar dan sedikit demi sedikit meninggalkan kultur buruk itu.

      Semangat dan terimakasih ya kak sudah berkunjung kemari ❤️

      Delete
  6. Aamiin :) aku setuju aja si hehe

    ReplyDelete
  7. Semua manusia diciptakan punya pemikiran sendiri dan berbeda beda,baik laki atau perempuan. Semua porsinya sama saja,
    Begitu jg saya,istri sy sy bebasin mau kerja atau enggak,karena jadi istri itu g hanya dirumah saja. Punya cita cita,yg enggak kudu dihalangi keinginan suami untuk stay dirumah aja si.


    Banyak yg bilang cewek buat apa sekolah tinggi2 toh pada akhirnya jadi ibu rumah tangga. Biasanya yg komen gitu adalah yg msh belom kebuka pikirannya sih. Jd ibu rumah tangga bisa kok punya cita2,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waahh aku bersyukur banget kalau ketemu sama orang yang berpikiran lebih terbuka. Termasuk kakak yang memberi kebebasan pada istrinya untuk melakukan apa yang istri kakak sukai.

      Terimakasih juga sudah meluangkan waktunya untuk berkunjung kemari, Kak. 😊

      Delete