Life isn't a race

Halo, gue nggak lolos SNMPTN. Gue nggak nangis sih, enggak sama sekali, meski ada rasa kekecewaan sedikit tapi gue nggak berhak untuk marah atau bahkan menangisi keputusan Allah. Ya kan? Gue bahkan dari awal udah niatan untuk nggak lolos SNMPTN. Karena, ya gue ngrasa gue pengin punya lingkungan baru, pengalaman baru dan feedback yang positif ke diri gue dalam rangka menginjak usia dewasa. Dan gue punya pandangan bahwa meskipun kuliah di sini bakal ngasih lingkungan yang baru, tapi gue nggak yakin sepenuhnya bakal ngasih semua hal positif ke diri gue. Gue, nggak mau ngikutin pattern yang udah ada.



Gue sedang membiasakan diri gue untuk bersikap apa adanya. Life isn't a race. Life is a place to learn. I'm not forcing you to believe into my perspective. But, here I am.  Gue menengok kanan kiri gue sedihnya nggak karuan, dapet kotak merah dan yaa gue nggak menyalahkan mereka atas kelarut-larutan mereka. Wajar kok, wajar banget mereka sedih. Gue pun pernah berada di posisi kegagalan yang serupa. Meski transformasinya beda sih, hm. 

Meskipun gue masih sulit untuk membiasakan bersikap bodo amat, tapi gue akan berusaha untuk membiasakan hal itu ke gue. Gue nggak mau, hidup gue jadi nggak bahagia hanya karena iri ngliat kesuksesan orang lain. Gue, nggak mau hidup hanya demi sebuah pengakuan orang lain. Meskipun gue sadar, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang butuh pengakuan. Tapi gue nggak ingin haus akan pengakuan.

Mungkin rasa menggebu untuk menunjukkan eksistensi kepada dunia itu ada, atau bahkan besar banget. Tapi, gue nggak mau untuk jadi manusia yang takabur, lupa, sombong dan congak. Sumpah demi apapun, menjadi sombong adalah hal yang paling gue takutkan. Gue nggak mau jadi sombong gara-gara gue sukses, gue nggak mau pamer segala macem pencapaian gue dihadapan publik, meski gue udah kepingin banget nunjukinnya. Gue beneran takut ketika gue nggak bisa ngontrol diri gue. Lalu akhirnya gue malah terjerumus sama kenikmatan duniawi yang nggak seberapa. Bukankah sorbannya sombong hanya milik Allah?

Gue nggak tahu, bagaimana perasaan orang ketika melihat pencapaian gue. Kalau termotivasi Alhamdulillah, tapi kalau enggak? Ujungnya malah memicu iri hati dan mungkin gue bakal dapat dosa.

Gue nggak tahu, di luar sana mungkin ada yang berjuangnya lebih keras, tapi tetap diem tanpa buka suara. Gue pun nggak tahu, di luar sana ada banyak manusia yang keadaan ekonominya, kehidupannya, mungkin lebih kurang beruntung daripada gue, dan apa perasaan mereka ketika gue menunjukkan kemewahan yang padahal nggak seberapa, meski cuma lewat "ketikan jari di sosial media?" .

Gue sadar, bahwa hidup bukanlah sebuah ajang perlombaan. Kecuali jargon "berlomba-lomba dalam kebaikan" mungkin agak sedikit beda. Bukan karena lo nggak punya barang keluaran terbaru, lo kalah dalam material. Bukan karena lo dapet nilai dibawah temen, lo lantas dicap bodoh. Bukan karena lo telat nikah, terus dikatain perawan tua dan sebagainya. Bukan karena lo nggak bisa kaya orang lain, lo lantas cupu. Bukan, bukan karena itu semua.

Awalnya sulit mungkin, tapi tolong berhenti menginginkan kehidupan orang lain. Kalau ada yang bilang hidup adalah sebuah kompetisi, maka gue kurang setuju. Hidup harusnya adalah ketika kita sesama manusia saling mengerti dan memahami, bukan menggemborkan keegoisan masing-masing. Hidup akan jauh lebih indah jika kita selaras dengan alam dan membumi dengan yang lain. 

Semuanya akan sampai pada tujuannya masing-masing. - 

2 komentar