Menggali Trauma Masa Lalu

Belum ngetik apa-apa tapi rasanya mata ini udah panas. Btw gue besok masih ada jadwal UAS. Bentar lagi kelar kok, habis itu liburan. Hehehe

Oh ya, gue lagi nyelesein buku "Yang Belum Usai" dari pijar psikologi. Buku itu tentang bagaimana sebuah luka bisa hadir di kehidupan manusia, dan bagaimana cara menyembuhkannya. Gue bacanya sih pelan-pelan sambil gue resapi, tapi-tapi gue nggak berniat untuk bikin review karena gue gak ahli dalam hal review-meriview wkwkwkw. 

Ngomongin soal luka yang sebenarnya bisa dateng dari mana aja, gue rasa luka terbesar gue bermula dari keluarga gue. Sebagai seorang yang tumbuh tanpa dekat dengan orang tua khususnya figur ayah, membuat gue selalu insecure dalam setiap love-relationship. Pikiran-pikiran tentang takutnya ditinggalkan, merasa rendah diri, sampai kadang ketakutan nggak berdasar yang sebenarnya nggak perlu gue hiraukan pun pada akhirnya menghantui gue. Itu kenapa di setiap love-relationship gue selalu bilang di awal hubungan "nanti kalau semisal udahan, nggak usah saling benci ya,". Why? Karena hubungan ayah dan ibu kandung gue nggak baik-baik aja bahkan setelah mereka pisah.  Itu kenapa perasaan takut dibenci ketika hubungan berakhir hadir di benak gue, bahkan ketika baru memulai sebuah hubungan. 

For now, I decided to take a break from any love-relationship. Gue sadar, kalau selama gue belum bisa sembuh dari luka yang satu itu selamanya juga gue akan bermasalah dengan partner gue kedepannya. Well, maybe bukan sebuah hubungan yang serius dan lebih kayak hubungan anak muda biasanya. Tapi tetap aja, punya masalah yang belum gue selesaikan pada akhirnya akan tetap berdampak gimana kualitas relationship gue. 

Gue juga mau minta maaf untuk orang-orang yang sebenarnya baik yang datang ke kehidupan gue, tapi malah gue suruh pergi karena alasan di atas. Deep down inside, I want to heal my wounds first. Karena demi apapun, bahkan di satu titik ekstrem gue berpikiran untuk nggak mau punya love-relationship di masa depan. Oleh karenanya, gue ingin belajar mencintai diri gue terlebih dahulu sebelum nantinya gue bisa mencintai orang lain. 

Then, luka yang kedua datang dari Ibu gue. Ibu? Yaahh.. Even though my mom is the most person that I love, but she also contributes the wounds that are exist in my life. Mungkin Ibu gue nggak pernah bermaksud untuk menyakiti perasaan gue, mungkin juga Ibu nggak pernah belajar dan nggak tau gimana sebuah luka, tindakan, sekecil apapun bisa menyakiti anaknya. Gue ingin mencoba memahami itu, meski sulit. 

Gue dibesarkan oleh seorang Ibu yang konservatif dalam sebuah agama. Seorang ibu yang mengenalkan Tuhan ke gue bukan dengan kelembutan tapi dengan amarah, bahwa Tuhan itu menakutkan, bahwa dosa itu menyakitkan dan harus dihindari. Dampaknya adalah krisis kepercayaan yang melanda gue, bahkan pernah ada masa di mana gue membenci sebuah agama. Membenci orang-orang di dalamnya, membenci orang-orang yang mendoktrin A B C lalu mencela D E F ketika mereka sendiri belumlah sempurna. Gue mencari-cari di mana letak kedamaian di tengah hiruk-pikuknya dunia. Ketika orang lain berbeda dengan kita, haruskah juga dibenci? 

Lalu ketika gue membuka pertanyaan untuk masalah ini, Ibu gue sendiri hanya bergeming. Kalaupun Ibu menjawab, jawaban dari Ibu sama sekali tidak pernah memuaskan gue. Lalu gue menyadari, bahwa apa yang diyakini oleh Ibu juga merupakan bentuk pendikte-an dari orang lain. Ibu percaya bahwa sebagai orang yang berada di bawah (re : kurang paham tentang ilmu agama) haruslah mempercayai apa-apa yang dikatakan oleh orang yang jauh lebih penting. Salahnya di mana? Salahnya adalah bagaimana hal tersebut disampaikan dengan cara yang jauh dari kata damai.I think I can't explain further, but I hope you will understand. 

Yang jelas, suatu hari nanti gue ingin merasakan kedamaian ketika beragama. Gue yang jauh lebih mencintai Tuhan gue yang sekarang, dan gue yang mencintai apa yang sudah Tuhan anugerahkan ke gue. It's just about time, and the journey of how to receive and seek

Move to the last biggest wound, adalah tentang ekspektasi Ibu. Secara akademik, gue dan adik gue agak berbeda. Gue yang memang dari kecil gak pernah ngrasain sulitnya cari sekolah bagus hanya karena nilai, sedangkan adik gue masih harus struggle cari sekolah yang sekiranya mampu buat dia. Adik gue berbakat, tapi bukan untuk soal akademik. Dari kecil sampai sekarang, gue nggak pernah mengecewakan Ibu untuk soal pendidikan. I mean gue selalu berusaha untuk kasih yang terbaik untuk urusan nilai, bahkan prestasi di luar nilai. Tentu, doa kesuksesan dari Ibu mengiringi hidup gue. Tapi, harapan Ibu agar anak pertamanya ini jadi perempuan yang mandiri, kuat, punya penghasilan bagus di masa depan supaya bisa ngrawat Ibu, Ayah, dan Bapak sekaligus membuat gue secara tidak langsung tertekan. 

Gue masih 20 tahun, bahkan gue belum sepenuhnya tegak berdiri sendiri di dunia ini. Tapi sudah ada permintaan untuk "take care" kehidupan manusia lainnya di muka bumi ini. Pertanyaan-pertanyaan tentang "Oh, jadi gue beneran alat investasi ya?", "Serius, hidup gue cuma untuk menyejahterakan orang tua bahkan di saat gue kurang kasih sayang dari mereka?" sering kali hadir.  I feel my life completely sucks.

But who knows? Mungkin di masa depan gue beneran bisa jadi orang yang sukses dan bisa "menyejahterakan" orang tua gue. Tapi gue pikir-pikir sih jelas butuh usaha yang besar. LOL. 



Gue agak males take photo buku fisiknya, wkwkwk 😂

Akhirnya sama kayak buku di atas, ada kalimat yang bikin gue tersadar. "Hidup tidak akan pernah terbebas dari luka, sekalipun kita berusaha untuk menjaga diri atau menghindari luka, sehingga hidup bukan tentang bagaimana agar tidak terluka. Namun, bagaimana caranya kita menyembuhkan luka? Terlebih, masih banyak dari kita yang hanya menyadari pentingnya mengobati luka fisik dan mengabaikan luka psikis." - Yang Belum Usai 



Edit : gue nulis ini dalam rangka membersihkan sampah negatif di kepala. Nggak ada niat membuka aib, menjelekkan keluarga sendiri, or apapun itu. Thanks

2 komentar

  1. Fighting ya!!! Aku setuju sama statementmu untuk memulai hubungan love itu ketika kamu sudah sembuhin luka diri dan love yourself. Kalo diri sendiri aja ga bisa dicintai, gimana mencintai orang lain kan. I hope your wound will be heal ya Syifa. 🙏

    Untuk agama juga aku pun setuju dengan pendapatmu. Ketika agama orang lain berbeda dengan kita, bukan berarti agama kita yang paling benar dan malah merendahkan agama orang lain kan. Menurutku ya agama itu bukan dari Tuhan, tapi ciptaan manusia. Tuhan kan ga pernah nyiptain agama A, B, dan C. Tapi manusia aja yang membuat adanya agama A, B, dan C tersebut. Kalo dari aku sih keyakinan kepada Tuhan-lah yang harus kita pegang. Percaya bahwa Tuhan itu ada dan hidup seturut kehendak Tuhan.

    Last, ekspektasi dari orang tua dalam kasusmu adalah ibu memang kadang memberatkan kita selaku anak. Jadi keinget term soal generasi sandwich. Ya aku cuma bisa bilang, aku pun sebagai anak cuma bisa berusaha semampuku untuk bisa menyenangkan orang tua. Again, menyenangkan manusia itu ga akan ada abisnya karena pada dasarnya manusia ga akan pernah puas. Jadi kembali lagi sih, patokanku ya menyenangkan Tuhan (salah satunya ya nasihat untuk hormat terhadap orang tua). At least aku melakukannya seperti untuk Tuhan, bukan untuk manusia. Kalo buat manusia doang tuh pasti ada rasa "ah gw cuma dimanfaatin doang". Gitu kan? Hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo kak! Hihihi, thank u and sorry baru sempat balas dan buka blog!

      Iya menurutku juga seperti itu kak, mirip kalau kita mau menolong orang lain kita harus menolong diri sendiri dulu. Kalau mau memberi cinta ke orang lain, maka kita harus mencintai diri sendiri lebih dulu.

      Hm, untuk soal agama juga aku berpikir demikian kak. Aku percaya kalau Tuhan itu ada, dan sejatinya kita semua sama di mata Tuhan.

      Mungkin untuk kasus orang tua ku, pola pikirku perlu sedikit di rubah kak heheh. Supaya lebih ikhlas karena landasannya menyenangkan Tuhan.

      Delete