Ini aku, kemarin baru saja ku lantunkan beberapa harapan untuk diriku. Tapi hari itu pula, aku tak menyadari bahwa akan diterjang hari yang mungkin cukup buruk. Ku dengar kata sembilu sebanyak tiga kali di tempat berbeda. Ucapan perpisahan yang dilontarkan jauh sebelum hari itu tiba. Keraguan yang diyakinkan dirimu jauh sebelum hari itu datang.
Lucu, manusia mempertahankan apa yang bahkan tak bisa diharapkan. Manusia memperjuangkan apa yang bahkan tampak tak jelas. Aneh, manusia suka berharap pada hal yang tak pasti.
Aku bahkan membayangkan hari-hari kita akan dilalui dengan pertengkaran-pertengkaran kecil tapi tak akan menyurutkan rasa cinta dan sayang dalam hati kita masing-masing, untuk beberapa tahun ke depan. Aku selalu mencari referensi bagaimana agar bisa melunakkan hatimu, membuatmu merasa nyaman di dekatku, meski aku lebih banyak tersakiti.
Ku bilang, kita bukan enam belas tahun lagi. Kamu pun setuju bahwa kita juga sudah cukup dewasa untuk bisa mengambil keputusan dalam hidup. Menjalani hari satu tahun sebelumnya dengan kesendirian ku pikir sudah cukup memberikan pelajaran untuk kita. Tapi, tidak.
Aku selalu ingin tahu, apa yang membuatmu merasa sulit, apa hal terburuk dalam hidupmu, atau apa hal yang paling kau sukai dalam hidupmu. Aku selalu ingin menjadi manusia yang kau beri tahu dulu ketika sebuah kejadian tak mengenakkan menimpamu. Aku senang, kita mendiskusikan hal yang kamu sukai, meski jarang memperhatikanku ketika aku bicara. Aku, dengan tulus dan sabar menerimamu.
Kali pertama kamu menggores luka dalam hidupku, aku bisa cukup menerima. Meski lama, aku bangkit. Aku tak lagi berharap bahwa kau akan kembali atau sekadar mengasihani diriku. Kali pertama, ketika kau remaja egois yang meruntuhkan sebagian kecil duniaku, aku masih memaklumi. Bahkan ketika pada akhirnya kau kembali lagi setelah hampir dua tahun berlalu, aku masih tak mengapa. Aku menerima dan memaafkan segala kesalahan dan luka yang pernah hadir dalam hidupku.
Aku mencoba untuk percaya lagi. Kamu datang dengan begitu yakin bahwa ada masa depan yang bisa kita perjuangkan. Kamu meyakinkan diriku bahwa kita masih bisa bersama-sama. Bodohnya, aku percaya.
20 Mei kemarin, kau bilang maaf. Maaf dan terimakasih karena aku sudah ada selama ini menemanimu. 20 Mei kemarin, kau bilang dengan tanpa rasa bersalah bahwa kau ingin mengakhiri semuanya. Kau bilang bahwa kau tak pernah berjanji. Kau bilang bahwa kau tak akan datang ke rumahku lagi. Kau bilang bahwa kau tak akan lagi mengatakan hal itu. Semuanya, tampak tak berarti bagimu.
Kau lupa, bahwa kau hanya manusia biasa. Kau bicara seolah-olah tak akan ada lagi perempuan yang kau temui setelah aku. Jika kamu membaca tulisan ini, pernikahan bukan hanya cukup dengan kesepakatan "iya". Bagiku, pernikahan adalah hal yang harus ku pikirkan matang-matang, tak bisa jika aku memutuskan hidup dengan laki-laki yang bahkan tak mengetahui berapa tanggal lahirku, atau berapa ukuran sepatuku. Meski tak bisa diukur dengan kuantitatif, pernikahan adalah suatu hal yang sangat ingin aku jaga kelak di masa depan. Hidupku, sudah banyak mengajarkan bahwa mengenal sebentar belum tentu mengerti akan baik buruk sifat pasangan masing-masing.
Jika kau baca tulisan ini, mengertilah bahwa Tuhan tau kita hanyalah sepasang manusia. Aku tak mau naif, aku tentu ingin dicintai dan mencintai. Lagipula, apa selama ini kita melanggar norma-norma masyarakat? Apa aku menyalahi prinsipmu bahwa menjalin komitmen adalah suatu hal yang buruk? Lalu kenapa kau datang jika hanya akan untuk pergi lagi? Kenapa?
Harusnya, aku bisa lebih mudah melupakan dan menata hatiku kembali karena ini sudah kali kedua kamu menyakitiku. Harusnya dan harusnya aku lebih mudah. Mungkin.
Di masa depan, aku yakin kamu akan menemui wanita baru lagi. Aku yakin kamu akan tetap menjalani sebuah komitmen. Jika kelak hari itu tiba, tolong ingat aku bagaimana aku telah memperjuangkan semuanya. Ku harap, kamu akan mengerti bagaimana rasanya tak dipedulikan, dimanfaatkan, tidak dihargai dan tidak dianggap. Kamu harus merasakan itu. Tidak, bukan karena aku masih membencimu, itu lebih karena agar kamu belajar menjadi manusia yang lebih baik. Kamu harusnya mengerti bagaimana memperlakukan orang lain dengan baik. Harusnya kamu paham bahwa kita manusia selalu hidup berdampingan. Kamu tak akan pernah bisa baik-baik saja jika masih terus membesarkan kepala dan penuh keegoisan.
125 hari yang cukup untuk menjadikan pelajaran lagi, setidaknya untuk diriku.
Kedua kalinya, kamu meninggalkan lagi diriku. Tapi aku akan tetap baik-baik saja. Mungkin aku hanya perlu menata hatiku kembali, lalu akan tetap hidup dengan memperjuangkan mimpi dan cita-citaku.
Bukankah luka harusnya menjadi hal yang menguatkan?
0 komentar