Di langit sana, tinggal sebuah awan kecil nan halus. Bentuknya seperti permen kapas, warnanya sangat putih. Tubuhnya sangat ringan, dia bisa pergi kemanapun yang dia mau. Perkenalkan, dia Cumulonimbus. Si awan kecil yang suka bepergian.
Kalau sedang ingin melihat melihat matahari terbit, Cumulonimbus tinggal menuju ke arah timur. Dengan senang hati Angin akan membantu Cumulonimbus agar cepat sampai ke timur.
“Terimakasih Angin, sudah mengantarkanku melihat matahari terbit,”
“Sama-sama, jaga dirimu ya. Aku pergi dulu....” Angin berpamitan.
Setelah puas melihat matahari terbit, Cumulonimbus hendak bermain-main. Dia teringat, bahwa dia ada janji dengan Stratus, awan yang sudah menjadi sahabatnya sejak dulu. Karena takut terlambat, Cumulonimbus berlari dengan kencang.
“Dari mana saja Cumulonimbus, aku sudah menunggumu dari tadi.”
“Maaf Stratus, aku tadi melihat matahari terbit dulu, aku hampir lupa kalau ada janji dengan kamu... Maaf ya,”
“Ya sudah, tidak apa-apa, ayo kita bermain...”
Cumulonimbus dan Stratus bermain bersama. Pada awalnya, mereka bernyanyi bersama. Tapi kemudian, Cumulonimbus merasa bosan, karena dia tidak pandai menyanyi.
“Bagaimana kalau bermain tebak-tebakkan?”
“Boleh juga,”
Mereka pun mencoba bermain tebak-tebakkan. Cumulonimbus kalah, dia sedikit marah pada Stratus.
“Tidak suka tebak-tebakkan! Aku kalah darimu,” Cumulonimbus mengeluh.
“Kalau begitu, apa kau punya ide?” tanya Stratus.
“Mari kita adu lari. Siapa yang sampai duluan di langit selatan, maka dia yang menang,” tantang Cumulonimbus.
“Aku tidak takut,” Stratus menyanggupi tantangan Cumulonimbus.
Setelah hitungan ketiga, baik Stratus maupun Cumulonimbus mereka mulai berlari dengan kecepatan maksimal. Ternyata, yang sampai pertama kali di langit selatan adalah Cumulonimbus.
“Hore, aku menang!” Cumulonimbus berteriak kegirangan.
“Baiklah, aku mengakuimu kalau kamu lebih cepat dari aku.” Stratus kemudian memberi selamat pada Cumulonimbus.
“Aku lelah Stratus, aku pulang dulu ya, biar aku beristirahat. Besok kita bermain lagi.”
Setelah berjanji untuk bertemu esok hari lagi, Cumulonimbus meninggalkan Stratus. Dia ingin bergegas tidur. Keesokan harinya, Cumulonimbus menemui Stratus di tempat yang sama.
“Mau bermain apa kita hari ini?” Stratus bertanya.
“Ayo kita lari lagi, kali ini ke langit barat bagaimana?”
“Sudah pasti kamu yang menang, larimu paling cepat.”
“ Tidak apa-apa, aku suka berlari.”
Stratus menuruti permintaan Cumulonimbus. Mereka berlari bersama menuju langit barat. Lagi-lagi, Cumulonimbus menjadi pemenangnya.
“Lihat, aku adalah pelari tercepat Stratus.”
“Iya, aku tahu.”
“Sekarang, aku ingin naik ke atas, aku ingin menjangkau langit paling atas.”
“Apa kamu tidak salah? Kamu ingin naik ke langit yang lebih atas? Bukankah kita sekarang sudah sangat di atas? Kita bisa melihat pemandangan dari sini.” Stratus memperingatkan.
“Tidak Stratus, aku ingin naik lebih ke atas lagi, ayo temani aku.” Pinta Cumulonimbus. “Tidak, aku lebih baik di sini.” Stratus menolak.
Cumulonimbus pergi ke atas sendirian. Dia sudah membulatkan tekad untuk mencapai langit tertinggi. Perlahan, Cumulonimbus mulai naik ke atas. Dia bisa melihat Stratus yang mengecil dan semakin kecil.
“Wah, asyiknya....” gumam Cumulonimbus ketika berada di atas.
Di pertengahan menuju puncak, ada Angin yang melintas di depan Cumulonimbus. Cumulonmibus meminta tolong pada Angin untuk mengantarnya pergi ke atas lebih jauh.
“Tidak Cumulonmibus, aku tidak berani mengantarmu. Kamu pergi sendiri saja ya, maaf....”
Cumulonimbus pun tetap naik ke atas lagi. Dia amat senang, karena dia bisa bertemu dengan awan-awan baru lainnya. Akan tetapi semakin tinggi dia menuju puncak, Cumulonimbus merasa tubuhnya semakin sulit untuk digerakkan. Dia juga terasa amat sangat lelah. Tanpa dia sadari, ternyata tubuhnya semakin membesar. Cumulonimbus tidak lagi menjadi awan yang kecil, dia berubah menjadi awan raksasa. Tak hanya itu, seluruh tubuhnya terasa sangat menyakitkan. Ada petir di tubuh Cumulonimbus. Petir itu menyambar kesana-kemari, sangat menyeramkan.
“Tolong...Tolong...Tolong...” Cumulonimbus menangis berteriak minta tolong.
Sayangnya, tak ada yang bisa menolong dia. Sebab tak ada siapapun di langit yang paling atas. Lambat laun, tubuh Cumulonimbus hancur berkeping-keping. Dia menyesal telah meninggalkan Stratus dan malah pergi ke langit paling atas.
0 komentar